ASAL USUL PEMUKIMAN


ASAL USUL PEMUKIMAN 

Sebelum kami menjelaskan tentang nama desa, maka sekilas kita melihat tempat asal pemukiman orang  di kampung ini pada ratusan tahun yang lalu.

Menurut cerita lisan dari Bapak Andreas Kilmas, pada waktu dahulu, di Bukit Masbait terdapat dua pemukiman, yaitu “OHOI KERATAT” dan “OHOI KEBAV”

Ohoi Kebav dihuni oleh marga/fam RUMYAAN sedang Ohoi Keratat dihuni oleh marga/fam KOLANIT (dari koko ertal lanit yang berarti orang-orang dari langit). Dikatakan demikian karena menurut pandangan orang Rumyaan yang tempat tinggalnya lebih rendah, mereka yang tinggal di atas puncak lebih dekat dengan langit, sehingga penduduk Ohoi Keratat lazim disebut koko ertal lanit.

Jauh sebelum kehadiran marga/fam Rumyaan dan Kelanit, sudah ada marga-marga lain yang pernah bermukim di bukit ini, namun penulis membatasi diri karena yang menjadi pokok pembahasan adalah proses terbentuknya kampung Kelanit, demikian halnya dengan legenda: Dari mana asal Marga Rumyaan dan Kelanit? Penulis tidak berhak untuk menceritakannya. Selanjutnya pada suatu saat, datang pula dua kelompok baru yaitu Marga Lefteuw dan Marga Kilmas, kedua Marga inipun mempunyai perjalanan sejarah tersendiri dan tak perlu pula untuk diceritakan di sini.

Diceritakan pula bahwa terakhir kedua Marga ini pindah dari Kolser dan kedatangan kedua Marga inipun bukan pada saat yang sama. Marga Lefteuw diterima dan bergabung dengan Marga Kelanit dan tinggal di Ohoi Keratat, sedang Marga Kilmas diterima dan bergabung dengan Marga Rumyaan di Ohoi Kebav.

Perlu diketahui bahwa kedua permukiman tersebut, semuanya berada di atas Bukit Masbait namun agak berbeda ketinggiannya. Ohoi Kebav letaknya agak rendah, kira-kira 30 meter dari Ohoi Keratat, sedangkan jarak antara kedua pemukiman sekitar 200 meter. Sementara nama bukit/gunung itu sendiri konon sesuai dengan nama seorang moyang yakni “TE MASBAIT” yang dimakamkan di puncak bukit tersebut.

Sebagai kenangan maka oleh penduduk dalam kerja sama dengan Marga Masbaitubun dan Marga Kelanit – Marga Renyut dan Marga Tallaut lewat suatu pertemuan dengan Panitia Pembangunan Obyek “Taman Ziarah Kalvari Masbait” yang dihadiri Kepala Desa Kelanit bersama aparatnya, maka telah dicetuskan suatu kesepakatan bahwa :

Pemungaran Makam “TE MASBAIT” dimasukkan sebagai bagian dari Program Kerja Panitia dan semuanya telah diresmikan pada tangal 20 November 1993,    oleh Bupati Maluku Tenggara Drs. Hi.H.A. Rahayaan dan Pemberkatan oleh Uskup Diosis Amboina Mgr.A.P. Sol MSC lewat Perayaan Misa Konselebrasi.

Dalam budaya orang Kei setiap Kampung mempunyai WOMA. Biasanya pusat Kampung atau Woma itu letaknya di depan rumah atau halaman/Kintal MITU DUAN (Imam Adat).

Mitu Duan selalu membawa persembahan yang ditentukan sesuai dengan keadaan masing-masing Ohoi / Kampung. Dan karena merupakan budaya, maka apabila kita meninjau setiap kampung di seluruh kepulauan Kei ini, maka sebagian besar telah dibangun suatu tanda untuk menentukan letak Woma menurut budaya Kei yang dianggap sakral itu.

Demikian pula dengan kedua pemukiman yang sementara diperbincangkan, juga memiliki hal yang sama, Ohoi Kebav mempunyai Woma bernama “BUTOROK” sedangkan Ohoi Keratat mempunyai Woma bernama “ EL TAMHER”

Keempat Marga masing-masing sebagai ‘RAHANYAM’ menurut tatanan budaya Kei juga mempunyai nama tersendiri, namun keempat Marga ini merupakan satu kesatuan dalam bertindak, berperang dan sebagainya.

Keempat Marga ini telah menjalin suatu kerukunan Marga yang sampai kini tetap terpatri dalam sejarah kampung ini dengan sebutan ‘YAMIFAK’ yaitu :LEFTEUW-KILMAS-RUMYAAN dan KELANIT. Keempat Marga inilah yang pada awalnya bersatu, dan merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung Kelanit ini.

Setiap Marga/Faam masing-masing mempunyai nama rumah atau rahan dengan sebutan sebagai berikut :

Faam Lefteuw ni rahan meman : RAHAN YABRU

Faam Kilmas ni rahan meman: RAHAN NGIMAS atau NGILMAS.

Faam Rumyaan ni rahan meman: RAHAN LAR DIT

Faam Kelanit ni rahan meman  :  RAHAN KURVEL.

Kalau tidak ditelusuri dengan baik maka nama Woma, Rahan dan sebagainya tidak akan diketahui banyak orang terutama kaum generasi muda.

Rahan adalah nama umum untuk rumah yang dulu dihuni oleh suatu keluarga besar atau Marga.

Faam adalah nama dari Kepala Marga atau keluarga besar tertentu.

Keempat Faam ini kemudian menggabungkan diri menjadi satu dan diam di bagian Timur pada lereng bukit di tepi pantai yang sampai sekarang dikenal dengan nama ‘ELTIMUR’. Sebelum kemudian Marga Kelanit secara berangsur-angsur pindah ke tempat lain seperti Kolser dan Langgur karena suatu alasan tertentu.                         

Penulis selalu membatasi diri untuk menjelaskannya.

Untuk berapa lama orang bermukim di Eltimur selama ini tidak diketahui dengan pasti, hanya bahwa kemudian mereka pindah lagi ke arah Selatan ke daerah yang sampai kini lazim disebut “OHOI VIHAN” [1] tepatnya di bagian ujung Utara kampung Kelanit sekarang. Permukiman atau perkampungan mereka ini bertahan sampai awal abad ke XX (sekitar tahun 1905 – 1910)

Kepindahan moyang kita dari puncak ke lereng bukit akan menimbulkan pertanyaan : “Mengapa mereka harus turun dan bergabung menjadi satu?” Dalam kisah kisah lama hal itu tidak disebutkan namun penulis berkesimpulan bahwa ada beberapa alasan yang kuat yakni :

1. Tingkat peradaban mereka sudah tinggi.

2. Adanya rasa persatuan dan kekeluargaan yang kuat yang dikenal sebagai “ain ni-ain” yang diakibatkan oleh perkawinan.

3. Faktor keamanan di daratan Kei Kecil, khususnya di lingkungan wilayah pemukiman yang semakin mantap.

4. Mempermudah transportasi kebutuhan hidup sehari-hari

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pada awal abad ke XX,  kampung Kelanit yang pada waktu itu disebut “GELANIT” dipindahkan lagi kira-kira 200 meter ke arah Selatan. Orang tidak akan percaya setelah melihat kenyataan itu, karena sekarang penduduk makin bertambah, sehingga orang malah membangun kembali wilayah pemukiman ke arah Utara sampai ke perbatasan kampung lama yang sejajar dengan lokasi pintu gerbang masuk ke Taman Ziarah (Gapura).

Untuk jelasnya hal ini dapat dilihat pada peta sederhana Desa Kelanit sekitar tahun 1905 terlampir.

Alasan kepindahan ini terutama disebabkan karena alasan kesehatan, sebab kalau kita perhatikan di sepanjang pinggir pantai Kampung Lama (Ohoi Vihan), masih terdapat beberapa Haut (Kuburan Leluhur) yang berupa tembok batu (lutur) berbentuk persegi dengan ukuran kira-kira 3 x 3 meter dengan tinggi 1 meter.

Menurut kebiasaan waktu itu, bila ada orang meninggal maka peti mati dibuat dari sepotong kayu bulat besar yang dipahat bagian atasnya seperti kotak persegi panjang. Setelah itu jenazah dimasukkan ke dalam lobang kayu pahatan tersebut, kemudian tanpa menggali kubur, jenazah tersebut diusung dan diletakkan di atas tanah dalam Haut tersebut. Karena tidak ada gua di sepanjang pantai, maka dibuat tembok/lutur batu sebagai pengganti gua dan dijadikan sebagai pekuburan terbuka. Keadaan seperti inilah yang mengakibatkan terjadinya gangguan kesehatan bagi penduduk setempat.

Ada pula cerita lain bahwa pada suatu ketika seorang dari suku Bugis yang biasa datang menjual emas dan mengetahui sedikit ilmu nujum. Penduduk minta bantuannya untuk melihat keadaan Desa dan pada akhirnya mereka dianjurkan untuk memindahkan lokasi pemukiman.

Meskipun demikian kita cenderung pada cerita bahwa kepindahan ini atas anjuran dari Bapak Prefektur Apostolik Dr. MATHIAS NEYENS MSC atau TUAN BUN yang disambut baik oleh penduduk kampung Kelanit waktu itu.[2]

Awalnya lokasi pemukiman itu seperti yang tertera pada Denah terlampir. Melihat Denah tersebut memang tidak sesuai dengan keadaan jumlah penduduk pada waktu itu, hal mana disebabkan oleh :

a.  Perpindahan ke tempat baru tidak serentak, sehingga ada beberapa keluarga    yang masih menetap di lokasi pemukiman lama dan Ohoivait.

b.   Satu rumah masih menampung lebih dari satu rumah tangga.


Tidak ada komentar